Kehidupan kaum
Muslimin semakin terpuruk pada beberapa daerah tertentu, seperti Xinjiang,
China. Wilayah Xinjiang sebagai daerah otonom memperlakukan klan mayoritas
Muslim, Uyghur, merana. Kita sebagai warga negara Indonesia yang hidup dalam
ketenteraman sudah sepantasnya memiliki rasa memiliki yang tidak terbatas oleh
dinding tembok besar bernama nasionalisme. Bukan berarti kita harus membenci
negara kita sendiri atau pun acuh dan apatis terhadap apa yang sedang terjadi
di negara sendiri, namun Muslim Uyghur juga merupakan saudara seagama.
Tidak bertolok
ukur dari akademisi yang tersirat mengatakan bahwa penggunaan hadis hanya dalam
taraf shahih saja, tetapi apabila kita membuka hati dan pikiran kita untuk
mempercayai hadis-hadis lainnya, in syaa Allah
akan terdapat hikmah dibaliknya dan sudah sepantasnya demikian.
عَنْ أَبِي مُسَى
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أِنَّ الْمُؤْمِنَ
لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ. (رواه لبخاري)
Artinya:
"Abu Musa meriwayatkan, Nabi SAW bersabda: “Kaum mukmin adalah bersaudara
satu sama lain ibarat (bagian-bagian dari) suatu bangunan satu bagian
memperkuat bagian lainnya.” dan beliau menyelipkan jari-jari disatu tangan
dengan tangan yang lainnya agar kedua tangannya tergabung." (HR. Bukhori)
Kehidupan mereka
di Xinjiang yang menjadi pemukiman mayoritas kaum Muslimin ternyata tidak mampu
membuat pemerintah China memberikan kebebasan dalam banyak hal laiknya wilayah
minoritas Muslim lainnya. Dilansir dari www.arrahmah.com, bahwa mereka yang “pandangan
agamanya ekstrem” dan “berbeda haluan politik” telah dipenjara atau ditahan di
kamp-kamp re-edukasi sejak tahun lalu. Anak-anak mereka dipindahkan ke panti
asuhan sampai orang tuanya dibebaskan oleh pemerintah.
Anehnya, menurut
seorang perwira Uyghur menambahkan bagi mereka yang dibebaskan dari kamp-kamp
re-edukasi “tidak mungkin” untuk mencari anak-anak mereka di panti asuhan. Bagaimana
pun juga, anak tetaplah anak. Mungkinkah budaya China memang demikian?
Komentar